Faisal Basri Sebut LPEI Defisit Rp 4,7 Triliun Tahun 2019, Wajar, Ini Alasannya

Faisal Basri Sebut LPEI Defisit Rp 4,7 Triliun Tahun 2019 Wajar, Ini Alasannya (Foto Faisal Basri saat paparkan data-Istimewa))
Faisal Basri Sebut LPEI Defisit Rp 4,7 Triliun Tahun 2019 Wajar, Ini Alasannya (Foto Faisal Basri saat paparkan data-Istimewa)) (Foto : )
Defisit yang dialami Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia EximBank hingga sebesar Rp 4,7 triliun pada tahun 2019 disoroti banyak pihak. Tidak terkecuali Ekonom Senior Faisal Basri.
Terkait hal tersebut, Faisal Basri mencoba meluruskan. Ia memaparkan terdapat beragam bentuk badan usaha dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Di antaranya, Persero, Perusahaan Umum (Perum), Lembaga dan lainnya.Sehingga, pengelolaan usaha dalam BUMN tersebut dijelaskan Faisal Basri pun beragam."BUMN itu ada macam-macam, ada PT (Persero), ada Perum juga ada lembaga, seperti Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)," ungkap pria bernama lengkap Faisal Batubara itu.Perbedaan pengelolaan usaha ditegaskannya merujuk orientasi bisnis. Seperti LPEI yang dipaparkannya tidak berorientasi mencari keuntungan, tetapi lebih kepada pembiayaan guna mendorong ekpor nasional."Kalau LPEI itu misinya bukan cari untung, oleh karena dia tidak mirip bank. Kalau bank tarik dana dari masyarakat dan kemudian menyalurkan dalam bentuk kredit, nah kalau lembaga pembiayaan ekspor ini dia dapat suntikan dana dari pemerintah plus dana jual obligasi untuk membiayai ekspor," papar Faisal Basri."Jadi jelas itu negara memberikan modal utama untuk dipisahkan, jadi bukan dari APBN lagi. Kecuali kalau pemerintah ingin menyuntikan dana agar pendanaannya lebih besar, tapi itu dipisahkan dari kekayaan negara," jelasnya.Oleh karena itu, menurutnya defisit yang dialami LPEI sangat wajar. Mengingat besarnya resiko dan besarnya dana yang digelontorkan dalam kegiatan ekspor."Nanti kalau misalnya lembaga itu butuh dana disuntik lagi, karena misalnya misinya lebih besar perlu pendanaan lebih besar dan negara akan suntikan lagi," papar Faisal Basri."Seperti yang saya katakan untungnya bisa kecil-bisa rugi, karena memang lembaga ini membiayai kegiatan ekspor yang resikonya lebih besar, di mana bank-bank tidak mau kasih pinjaman," jelasnya.Berbeda dengan Faisal Basri, Ahli Auditor, Drs. Eddy Hary Susanto Ak. CACPA CFrA CRA CACP menyoroti defisit LPEI dari sudut pandang hukum.Dirinya memaparakan suatu audit yang sifatnya investigatif atau berkaitan dengan kerugian negara mutlak harus dilakukan lebih dulu sebelum dilaporkan secara resmi oleh penanggung jawab perusahaan.Terkait kasus LPEI, Kementerian BUMN harus bertanggung jawab dan Menteri BUMN Erick Thohir diungkapkannya harus melapor langsung kepada Kejaksaan Agung."Nah kalau pembiayaan ekspor Indonesia itu bohirnya adalah Menkeu, maka seyogyanya Menkeu lah yang melaporkan atas dasar hasil audit yang sifatnya tadi investigatif atau hasil audit penghitungan kerugian negara," jelas Eddy Hary Susanto."Itu praktek yang seyogyanya dilaksanakan oleh Kejagung," tambahnya.Hal tersebut disampaikan merujuk kasus PT Asuransi Jiwasraya dilaporkan oleh Menteri BUMN Rini Suwandi kepada Kejagung pada tanggal 19 Oktober 2019.Laporan dibuat berdasarkan laporan audit KA, karena ada koreksi terhadap nilai pencadangan kerugian yang berakibat turunnya laba perusahaan.Laporan tersebut pun ditindaklanjuti oleh Kejagung dengan menerbitkan Sprintdik 2 bulan kemudian.Kasus lainnya seperti, kasus PT Asabri yang dilaporkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir pada tanggal 22 Desember 2020.Laporan dibuat berdasarkan laporan audit investigatif yang dilakukan oleh BPKP."Itu praktek yang ideal dilakukan oleh Kejagung, demikian pula seyogyanya terhadap LPEI, harusnya menunggu laporan hasil audit investigatif dan berdasarkan itu, kemudian Menkeu melaporkannya ke Kejagung, seperti halnya yang dilakukan oleh kedua Menteri BUMN di atas," jelasnya.Dirinya menekankan agar Kejagung tetap konsisten dalam menangani kasus di sejumlah perusahaan yang modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan."Yaitu laporan dari pejabat yang bertanggung jawab berdasarkan hasil audit investigatif sebagaimana pelaporan kasus PT Asuransi Jiwasraya dan PT Asabri kepada Kejagung," jelasnya.Sementara itu, Mantan Komisioner Komnas HAM Republik Indonesia, Dianto Bachriadi, Ph D mengungkapkan penggunaan nilai perhitungan kerugian negara berdasarkan perhitungan BPK yang telah melanggar putusan MK RI No.77/PUU-IX/2011.Selain itu, melanggar putusan MK RI No. 25/PUU-XIV/2016 oleh penyidik KPK, penyidik Kejaksaan Agung atau penyidik Polri adalah suatu bentuk konspirasi abuse of power dari instansi-instansi negara."Merupakan pelanggaran HAM dengan teori konspirasi," jelasnya.
Defisit 4,7 Triliun Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia EximBank membukukan rugi bersih sebesa Rp 4,7 triliun pada periode 2019.Padahal pada 2018 LPEI masih mencatatkan laba sebesar Rp 171,6 miliar.Berdasarkan laporan keuangan LPEI, dari sisi pendapatan, sepanjang 2019 terjadi penurunan pendapatan bunga dan usaha syariah bersih sebesar 33,45 persen menjadi Rp 1,42 triliun, dibandingkan 2018 senilai Rp 2,13 triliun.Sementara itu beban pada pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan membengkak hampir empat kali lipat.Pada 2018 CKPN hanya 1,7 triliun, sementara pada 2019 menjadi Rp 6,68 triliun.Selain kerugian, LPEI juga mencatkan penurunan aset hampir 10 persen menjadi Rp 108,7 triliun pada 2019, dibandingkan 2018 senilai Rp 120,1 triliun.Selain itu, LPEI juga mencatatkan peningkatan Non Performing Loan (NPL) Bruto sebesar 23,39 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan 2019 sebesar 13,73persen.Berdasarkan laporan keuangan LPEI pembiayaan dan piutang bermasalah dalam rupiah naik 53,04 persen menjadi Rp 22,88 trilin, dari Rp 14,95 triliun pada 2018.Sektor perindustrian, pertanian dan sarana pertanian, serta pertambangan mencatatkan peningkatan NPL yang terbesar.Pada pertengahan 2019, LPEI terkena dampak oleh gagal bayar dari Grup Duniatex dengan total pembiayaan yang disalurkan mencapai Rp 3,04 triliun.