Bali Mula sebelum kedatangan dewa-dewa India, telah memiliki kepercayaan asli. Pemujaan Datonta di Trunyan adalah contoh paling kongkret kepercayaan asli Bali. Sayang, kesalahan tafsir Presiden Sukarno telah membuat dewa-dewa India itu jenak di Bali, bahkan menjadi bagian utuh dari kepercayaan orang Bali. Sejatinya agama Tirta, dipaksakan menjadi Hindu.
Bali Mula ternyata memiliki sejarah peradaban Tuhan tersendiri sebelum ia kena pengaruh kebudayaan India. Istilah Brahma, Wisnu, dan Siwa yang kini lebih mengakar di Bali terang memiliki sejarah lain -- sebagai "hak milik yang didatangkan dari luar.
Teks-teks tua semisal; Tantu Panggelaran, Kakawin Usana Bali, memberi penjelasan tidak langsung, bagaimana "aryanisasi" itu dilakukan di Bali, termasuk bagaimana "dewa-dewa luar" itu jenak di Bali, dan kini menjadi bagian utuh dari kepercayaan orang Bali.
[caption id="attachment_346983" align="alignnone" width="900"]
Adalah Pura Pancering Jagat, dari nama arca Datonta berada. Arca ini setinggi 4 meter dan disucikan. "Datonta” atau “ Ratu gede Pancering Jagat”.
Arca Datonta merupkan arca bercorak megalitik, dihias dengan ukiran sederhana dan dengan ekspresi wajah menyeramkan. Arca ini digambarkan tanpa busana, dengan alat vital (penis) yang menjulur ke bawah. Tepat di bawah alat vitalnya terdapat lubang yang menggambarkan alat kelamin wanita.
Simbol ini merupakan bentuk lingga yoni. Laki (purusa) dan perempuan (pradana). Simbol muasal kehidupan manusia dan pula menurut kepercayaan masyarakat Trunyan adalah simbol kesuburan.
[caption id="attachment_347004" align="alignnone" width="900"]
I Made Sutaba adalah arkeolog dan penulis banyak buku, diantaranya Prasejarah Bali yang diterbitkan Yayasan Purbakala Bali, 1980. Pura Taman Sari Klungkung Bali (1987), Megalithic Tradition in Sembiran (1976), Notes on Trunyan: a Balinese Village (1976), Tradisi Paleo-Metalik di Indonesia (1973) juga Tahta Batu Prasejarah di Bali (1995) dan masih banyak lagi.
Temuan tahta batu yang tersebar di sawah-sawah maupun tegalan di sejumlah desa-desa purba di Bali, menunjukkan betapa kuatnya pemujaan kesuburan kala itu.
Di daerah Tabanan, semisal Desa Penebel tahta batu ini disebut pengrasak, di Buleleng disebut pepupun, sementara di Teja Kula, wilayah Buleleng timur dikenal dengan sebutan batu kukuk.
Memasuki zaman lebih kemudian, pemujaan kesuburan dihadirkan dalam bentuk Celak Kontong Lugeng Luih. Berupa simbol kemaluan laki-laki dan wanita dalam adegan sanggama – yang dalam penamaan kemudian dihadirkan sebagai simbol lingga yoni, yakni personifikasi Siwa sebagai Mahapencipta.
Laporan menarik dilakukan arkeolog lainnya, Purusa Mahaviranata (almarhum) berkaitan dengan ritus kesuburan di Desa Kayu Putih, Buleleng.
Dikatakan, di Pura Desa Bale Agung desa setempat terdapat peninggalan berbentuk silinder yang diujungnya digambarkan bentuk kemaluan laki-laki secara naturalis kemudian dimasukkan ke dalam batu berlubang berbentuk lesung.
Pelinggih ini mempunyai pemimpin upacara khusus disebut Kabayan. Pelinggih dan simbol batu yang dipuja di tempat ini disebut “Dewa Gede Celak Kontong,” mengingatkan orang pada pemujaan yang sama di Dalem Tamblingan.
Palinggih ini sangat penting artinya dalam alam kepercayaan masyarakat, sehingga pada waktu upacara ‘ngusaba’ dan upacara ‘nangluk merana’ diadakan upacara dihadapan palinggih ini dan sebelumnya diadakan ‘mendak tirta’ ke Pura Munduk Luhur yang dianggap oleh masyarakat sebagai tempat memberikan kesuburan.
Di Bali selain pemujaan kesuburan lewat penghadiran Dewi Sri, pemujaan pada “tokoh” bernama Men Burayut, dengan atribut payu dara subur, dikerubuti banyak anak juga merupakan citra dari pemujaan kesuburan masyarakat Bali.
Demikianlah ketika sistem kepercayaan orang Bali lebih tertata, hari pemujaan kesuburan dimasukkan dalam sistem kalender pawukon, datangnya setiap 210 hari, lazim disebut Tumpek Bubuh, diperuntukkan khusus untuk penghormatan pada tumbuh-tumbuhan.
Sementara penghormatan untuk kesuburan binatang peliharaan dilakukan pada hari Tumpek Uye. Dari seni tampak kian jelas, bahwa kategori-kategori Indianisasi pada sejumlah upacara di Bali nyaris tiada berdasar.
Justru sebaliknya, dilakukan penyegaran dan penamaan baru. Pemujaan kesuburan memang merupakan tradisi dunia, tidak menunjukkan dominasi kultur pendatang.
Upacara-upacara seminal ngusaba nini, bajang colong dalam upacara manusa yadnya, upacara kurban sapi yang lazim disebut jaga-jaga, dan banyak upacara khas Bali harus dirujuk hulunya pada peradaban Bali Mula.
Banyaknya temuan gundukan batu pemujaan, menhir, teras berundak, dan bentuk-bentuk pemujaan yang mempergunakan batu, semata menunjukkan peradaban Bali Mula telah memiliki kepercayaan pada kekuatan –kekuatan alam – yang mana dalam peradaban Bali kemudian diterjemahkan sebagai kekuatan-dewa dewa penguasa alam.
Maka berkomentarlah Dr Van der Hoop, tokoh terkemuka bidang arkeologis, bahwa banyak pura kuno di Bali tidak bisa ditelusuri asal-usulnya dari candi-candi India, tetapi harus dicari pada tempat-tempat suci atau tempat-tempat pemujaan berbentuk batu, megalitik.
Merujuk temuan paling purba di Pura Batu Madeg, Besakih, Made Sutaba membenarkan komentar Van der Hoop, bahwa cikal bakal Pura Batu Madeg adalah pemujaan batu megalitis, batu tegak sebagai simbul pemujaan roh leluhur, karena itu pura itu disebut Batu Madeg, batu tegak.
Pura Besakih yang terdiri dari 86 gugusan pura-pura, pada awalnya merupakan pemujaan purba punden berundag-undag, tempat pemujaan roh leluhur.
[caption id="attachment_346991" align="alignnone" width="900"]