Kurangi Risiko Bencana Gempa Bumi, BMKG Buat Terobosan

roni (Foto : )

Kurangi risiko bencana gempa bumi BMKG  memandang perlu segera membuat terobosan untuk mendukung mitigasi sehingga masyarakat dapat menyelamatkan diri. newsplus.antvklik.com- Sistem Peringatan Dini Gempa Bumi (Indonesia Earthquake Early Warning System-InaEEWS) untuk memberikan informasi lebih dini sebelum gempa kuat melanda suatu kawasan. BMKG  memandang perlu segera membuat terobosan untuk mendukung mitigasi dan pengurangan risiko bencana gempa bumi. "Sistem ini tidak saja bermanfaat bagi masyarakat agar dapat  bertindak lebih cepat menyelamatkan diri, tetapi juga dapat mengamankan objek vital berbasis respon instrumen. Sistem transportasi cepat, MRT, penerbangan dan industri penting dapat dinon-aktifkan seketika (shut down), beberapa detik lebih awal sebelum gempa menimbulkan guncangan dan kerusakan,”kata  Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, di sela-sela acara  "BMKG Soft Launching Uji Coba Peringatan Dini Gempa”, di Kantor BMKG, Kamis , (15/8/2019). Menurut  Dwikorita, sistem tersebut  tidak bertujuan untuk meramal kapan terjadi gempa besar, tetapi lebih kepada memberi peringatan kepada masyarakat bahwa akan terjadi gempa kuat dalam hitungan beberapa detik hingga beberapa puluh detik ke depan. "Peringatan dini gempa meskipun dalam hitungan detik sebelum terjadi gempa, akan sangat berarti untuk menyelamatkan jiwa  manusia dari kecelakaan yang fatal,” imbuhnya. Dwikorita menambahkan, dengan diketahuinya potensi gelombang merusak lebih awal maka masyarakat dapat mempersiapkan diri dengan melakukan upaya penyelamatan diri,  termasuk menghentikan sementara objek vital untuk mengurangi dampak bencana yang lebih besar. Seperti diketahui, Wilayah Indonesia merupakan bagian dari jalur gempa dunia yang terbentang dari Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Flores, Alor, Banda, Sulawesi, Maluku Utara dan Papua. Sebagai wilayah yang terletak pada jalur gempa, kondisi fisiografi wilayah Indonesia sangat dipengaruhi oleh aktivitas tumbukan 3 lempeng utama dunia, yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik. Ketiga lempeng tektonik tersebut saling  bertumbukan, mengakibatkan wilayah Indonesia memiliki lebih dari 16 segmen megathrust dan lebih dari 295 sesar aktif, sehingga menjadikan wilayah Indonesia sebagai salah satu kawasan paling rawan gempa dan tsunami di dunia. Deputi Geofisika, Dr. Muhamad Sadly, M.Eng. menuturkan BMKG mencatat dalam satu tahun rata-rata terjadi gempa sebanyak 5000 hingga 6000  kali, dengan  berbagai magnitudo dan kedalaman. Namun berdasarkan data BMKG terkini, tahun 2017 yang lalu telah terjadi peningkatan aktivitas kegempaan di Indonesia, menjadi sebanyak 7.169 kali, dan pada tahun 2018  kejadian gempabumi meningkat lanjut menjadi sebanyak 11.920 kali. Dengan demikian sangat nyata telah terjadi peningkatan signifikan aktivitas gempabumi di Indonesia. ”Mengingat sangat aktifnya aktivitas kegempaan di Indonesia, sejak 2008 BMKG sudah mengoperasikan sistem peringatan dini tsunami (Indonesia Tsunami Early Warning System-InaTEWS). Sistem ini mampu memberikan informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami dalam waktu maksimal 5 menit,” ujar Sadly. Sementara itu, Kepala Pusat Gempa dan Tsunami, Rahmat Triyono menyatakan konsep dasar EEWS menggunakan “end to end system” yang mampu memberikan peringatan dini gempa kuat kepada masyarakat. EEWS mencakup 3 sistem, yaitu: Pertama adalah sistem monitoring yang mendeteksi gempa bumi di hulu, kedua adalah system automatic processing yang mengolah data secara cepat, dan ketiga adalah system diseminasi penyebarluasanan informasi/peringatan dini di hilir, ditujukan kepada masyarakat yang disertai saran untuk menyelamatkan diri. ”Konsep ini bekerja dengan memanfaatkan selisih waktu tiba gelombang P (pressure) yang datang lebih awal dan gelombang S (shear) yang datang beberapa detik kemudian. Setiap terjadi gempa bumi, gelombang P akan tiba di sensor lebih awal selanjutnya dalam beberapa detik kemudian tiba gelombang S yang sifatnya destruktif/merusak,” tutur Rahmat. Saat terjadi gempa,  sensor EEWS akan merekam datangnya gelombang P, sistem secara spontan menginformasikan estimasi tingkat guncangan yang mungkin terjadi dan waktu kedatangan gelombang S. Sensor-sensor ini akan dipasang di berbagai tempat yang berdekatan dengan sumber gempa megathrust dan sumber gempa sesar aktif. EEWS merupakan sistem deteksi dini gempa kuat dengan mekanisme memberikan peringatan dini berdasarkan prediksi waktu tiba gelombang S yang berpotensi menimbulkan guncangan signifikan dengan memanfaatkan gelombang P untuk memberikan Sinyal warning, dari sensor EEWS ini akan dikirimkan melalui ke InaEEWS Center (BMKG), selanjutnya data diolah secara automatic dan hasilnya akan disebarkan ke receiver yang ada di stakeholder atau melalui mobile apps, receiver ini juga dapat dipasang pada objek vital seperti kereta cepat, MRT, industri vital, pusat keramaian (mall), dan area pemukiman dan perkantoran. Sebagai informasi, uji coba pembangunan sistem  ini  di-launching oleh Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, Duta Besar China dan dari Institute of Care Life of China, pada tanggal 15 Agustus 2019 dilakukan pemasangan 10 unit sensor EEWS di wilayah Banten yang bertujuan untuk monitoring gempa bumi di wilayah Megathrust selatan Jawa. Dan untuk tahap selanjutnya, imbuh Rahmat,  akan dipasang 190 unit sensor yang akan berkonsentrasi di wilayah potensi gempabumi yaitu Sumatra Barat, Lampung, Jawa Barat, dan Banten. Bilamana ujicoba ini berhasil maka akan dikembangkan secara masif di seluruh wilayah Indonesia. ”Adapun teknologi EEWS yang akan dijadikan ujicoba pembangunan dan kerjasama ini mengacu kepada sistem EEWS di Negara China. Informasi yang diberikan oleh sistem peringatan dini gempa ini mencakup: (1) estimasi intensitas gempa, (2) waktu tiba gelombang S, (3) estimasi magnitudo gempa, dan (4) lokasi episenter gempa,” tambah Sadly. Menurut Chinese Northwest Seismology (2002) Vol. 22 menunjukkan adanya korelasi antara waktu peringatan dini gempa EEWS dan rasio berkurangnya korban jiwa. Jika tersedia waktu emas selama 3 detik maka rasio berkurangnya korban mencapai 14%. ”Sedangkan jika tersedia waktu emas selama 10 detik maka rasio berkurangnya korban mencapai 39%, dan jika tersedia  waktu emas selama 20 detik maka rasio berkurangnya korban mencapai 63%,” tutup Sadly. (red)